Sepenggal Kisah Dari Jogja ke Lombok
Tapi setelah beberapa hari ini bimbang, akhirnya saya tuliskan juga perjalanan kami dari Yogyakarta ke Lombok yang kami lakukan beberapa hari lalu. minimal tulisan ini sebagai kenangan hidup saya dan sebagai ungkapan syukur kepada rahmat Nya.
Perjalanan kami di mulai dari Yogyakarta tanggal 15 Juli 2014 kemarin, sempat ragu-ragu juga karena ngetrip saat bulan puasa tentu banyak halangannya. Tapi akhirnya kami pergi juga, saya dengan seorang rekan saya yang hobi fotografi mas Anung. Tertarik dengan iklan tiket murah kereta api ekonomi akhirnya kami memutuskan untuk menggunakan moda transportasi kereta api ekonomi tujuan Yogyakarta-Banyuwangi sebagai cara awal menuju Lombok.
Saya seumur hidup baru satu kali naik kereta yaitu saat mudik 10 tahun yang lalu, saat masih berdesak-desakan, banyak copet, pengamen, pedagang asongan, tidak kebagian tempat duduk, gerbong bau dan pengalaman buruk lainnya. Sudah kebayang sengsara nya naik kereta ekonomi. Tetapi saat berangkat saya sempat kagum dengan kondisi kereta api ekonomi sekarang. Gerbongnya sudah full ac, jendela dan tempat duduknya relatif bersih, dan yang paling penting sesuai kapasitas jadi tidak berjubel dan berdiri. Yang lebih kagum lagi, Kereta Api Ekonomi Sri Tanjung yang saya naiki separuhnya di isi oleh turis bule alias backpacker asal mancanegara, luar biasa. Belakangan baru saya tahu mereka kebanyakan ingin ke Bromo, Kawah Ijen, dan Bali secara mandiri alias backpackeran dengan biaya murah, ya sangat murah sekali dengan tiket 50rb (dikurskan sekitar $4) mereka sudah bisa bepergian dari Yogyakarta sampai Banyuwangi. Hanya segelintir pribumi yang terlihat backpackeran seperti mereka.Entah karena bulan puasa atau menggunakan moda lain saya tidak tahu. Bagi yang mau privat belajar bicara bahasa asing, kereta sekarang bagus dijadikan tempat mengasah kemampuan anda berbicara langsung dengan orang asing/wna.
Berangkat tepat waktu dari stasiun Lempuyangan pk.07.20 WIB dan tiba di stasiun Banyuwangibaru lebih awal dari jadwal pk.21.00WIB. Satu lagi pelajaran yang saya dapatkan untuk mulai menghargai waktu dan disiplin tepat waktu karena saya harus berlari dari parkiran kestasiun agar tidak ketinggalan kereta.
Sampai Banyuwangibaru stasiun terlihat sepi dalam temaram lampu malam. Walau kecil tapi bersih dan suasana nya romantis apalagi saat berjalan keluar menuju Pelabuhan Ketapang Banyuwangi, cahaya lampu terpantul indah dari pinggir laut. menengok ke seberang terlihat siluet Pulau Bali. Sambil berjalan saya merenung dan bersyukur akan suasana ini, tawaran calo bus pun seakan angin lalu pembunuh sepinya malam (dalam hati saya membenarkan sebuah penelitian yang diterbitkan di surat kabar nasional bahwa cowok sekarang ternyata lebih melankolis dan sentimentil).
Masuk ke pelabuhan anda harus membayar tiket penyeberangan 6.5rb dan tanpa banyak birokrasi langsung diarahkan kekapal yang akan berangkat. Dan mulailah perjalanan etape kedua kami menggunakan moda transportasi kapal Ferry. Untuk biaya sebesar itu cukup lah fasilitas yang di dapat, minimal saya bisa tertidur pulas di bangku panjang ruang penumpang, sementara rekan saya mabok laut karena seumur-umur baru kali ini dia naik kapal. Terasa sekejap ternyata sudah sampai di Pelabuhan Banyuwangi, hanya 45menit waktu penyeberangan akhirnya sampai ke tanah Bali.
Di Gilimanuk sedikit masalah muncul karena kita harus menyesuaikan waktu kita 1jam lebih cepat, Bali masuk Waktu Indonesia Tengah (WITA GMT+8) sedangkan Jawa masuk Waktu Indonesia Barat (WIB GMT+7). Sulit membayangkan betapa repotnya penduduk yang tinggal dan sering menyeberang bolak-balik selat Bali untuk menyesuaikan perubahan waktu dengan irama kehidupannya (semoga wacana bahwa Indonesia akan digabung menjadi satu kesatuan waktu dari sabang sampai merauke cepat terealisasikan). Merubah waktu di arloji atau gadget seakan menimbulkan rasa ada di lain wilayah/negara padahal masih di Indonesia juga.
Keluar pelabuhan ada pemeriksaan KTP dan sempat berdebat karena rekan saya hanya bermodalkan surat kehilangan tidak boleh masuk, lebih asing lagi rasanya seakan-akan berhadapan dengan petugas imigrasi yang bertanya ini itu dengan tatapan mata penuh curiga. (ini masih di indonesia atau dimana ya). Baru setelah mengeluarkan kata sakti dengan ngaku statusnya sebagai mahasiswa di Yogyakarta baru mereka mau melepaskan kami. Dari seluruh pelabuhan di Indonesia hanya Ketapang yang menerapkan prosedur ini, bahkan di Pelabuhan Padangbai pun sebagai pintu masuk ke Bali dari Pulau Lombok tidak ada prosedur ini (memang teroris kayaknya kebanyakan dari pulau jawa).
Berjalan keluar pelabuhan sebentar saja banyak calo-calo menawarkan angkutan ke Denpasar, saya hanya tersenyum sopan dan menolak halus, cuma bilang tujuan saya padangbai dan pakai bus buana raya, mereka pun mundur sendiri bahkan menunjukan bagian terminal bus sebelah mana yang harus saya datangi. (mereka hanya orang kecil yang hanya berusaha mencari sesuap nasi, sedih melihatnya dan bersyukur ternyata saya lebih beruntung).
Tiba di terminal pk.23.00WIB atau kalau di Bali pk.24.00WITA, bus reguler gilimanuk-padangbai hanya ada buana raya, lisa, dan gunung harta. berangkat paling pagi pk.02.00WITA. Saya masih punya waktu istirahat 2jam sambil mengamati terminal gilimanuk. Tidak terlalu besar dan sangat temaram lampunya dimalam hari tapi yang membuat kagum adalah bersihnya. Duduk di warungkopi sambil ngobrol dengan orang-orang disekitar menjauhkan rasa tidak aman, mereka orang-orang yang ramah dan sopan asal kita berlaku hormat dan sopan juga. Hanya butuh sedikit waktu berkenalan dengan bu Nyoman sebagai pemilik warung dan anaknya untuk kemudian merasa dekat dengan mereka. Tipikal orang Bali sebagai orang yang terbuka terlihat jelas, hanya butuh waktu satu jam bagi saya untuk tahu seluruh kehidupan dia dari dulu sengsara sampai sekarang yang sedikit lebih beruntung. Dengan hanya berjualan di terminal dia mampu menyekolahkan ke tiga anaknya dan mengobati suaminya yang sakit, sungguh cerita yang menginspirasi. (pantas Bali lebih berhasil dari daerah lain karena masyarakatnya lebih terbuka dan ulet dalam berusaha). Pk.02.00WITA tepat bus buana raya berangkat, sekali lagi beberapa orang asing tampak menikmati ikut didalam bus. Bus reguler bergerak merayap dengan sesekali berhenti untuk menaikan penumpang. kondisi bus apa adanya dan relatif tua tapi bersih bahkan sampai velg rodanya pun terlihat tanpa debu, jauh sekali kondisinya dengan angkutan umum di jawa. Sekitar 5km dari terminal, bus berhenti dan mereka sembahyang pagi dahulu di pura yang terletak dipinggir jalan. Budaya orang Bali dalam kesehariannya memang religius dan mereka bersembahyang 3kali sehari yaitu di waktu pagi-siang-sore. Kembali ke bus mereka membawa sesaji berupa kembang dan dupa serta bergegas berangkat. Didalam bus tercium aroma wanginya kembang dan dupa, sungguh perasaan yang membuat nyaman (seperti bau aromaterapi), lumayan untuk pengalaman perjalanan dengan biaya 50rb ini.
Sampai di Pelabuhan Padangbai pk.07.00WITA, Padangbai pelabuhan kecil yang terletak diteluk di Kabupaten Karangasem. Ia terlihat seperti Pelabuhan yang gamang, disaat pelabuhan lain berlomba-lomba menambah dermaganya, padangbai statis hanya ada dua dermaga yang melayani kapal ferry untuk bersandar. Itulah kenapa perjalanan penyeberangan dari Bali ke Lombok butuh waktu lama sekitar 4jam karena sebagian waktunya dihabiskan untuk mengantri bersandar. Bangunan pelabuhan masih seperti 10tahun yang lalu, ada sedikit pembangunan hotel disekitarnya tapi tetap terasa separuh hati. (boleh jadi benar kabar bahwa pemprov Bali bermaksud memindahkan pelabuhan penyeberangan dari Padangbai ke lokasi lain yang lebih dekat ke Lombok).
Ada sedikit kemajuan dari saya terakhir kali ke Padangbai, sekarang ada dermaga kecil yang melayani kapal cepat atau speed boat. Jadi yang lebih mampu dan tidak mau terlalu lama menyeberang bisa menggunakan jasa speedboat yang diiklankan hanya butuh waktu 1jam untuk menyeberang. Iklan promonya banyak betebaran, biaya 250rb sekali berangkat atau 400rb retund dengan tujuan langsung ke Gili Trawangan atau Pantai Sengigi dengan fasilitas penjemputan dari denpasar atau nusa dua.
Saya memilih naik kapal ferry yang merakyat dan murah, biaya tiket 40rb dan pk.07.00WITA berangkatlah kami mengarungi selat selama 4jam serta kebayang ritual lama diatas kapal di Selat Bali tadi malam, saya tertidur dan rekan saya kembali mabok laut hehe. Pk.10.00WITA saya dibangunkan rekan Anung karena dia ingin menunjukan Selat Lembar dan kami pun keluar dari ruang penumpang. Pelabuhan Lembar terletak di Teluk Lembar dan untuk sampai ke pelabuhan, kapal dari selat Lombok harus masuk dan mengitari teluk selama 1jam. Diteluk itu ternyata banyak sekali tertambat kapal-kapal ferry yang kosong, entah karena rusak atau pun tidak jalan tapi rata-rata dalam usia tua. Ternyata dia mau menunjukkan itu kepada saya, baginya pemandangan itu suatu hal yang langka dan baru sekali ini dilihatnya. Bagi saya pemandangan itu membuat sedikit ada rasa prihatin dengan kondisi kapal ferry kita yang ternyata sudah tua-tua dan saya berpikir tentu membahayakan keselamatan penumpang (diperjalanan kembali dari Lombok pikiran itu terbukti).
Sampai di Pelabuhan Lembar pk.11.00WITA sejam lebih cepat dari waktu janjian saya dengan rekan SMP saya dulu yang bersedia mengantar saya keliling Pulau Lombok. Pelabuhan Lembar sudah jauh berbeda dan lebih luas sekarang. Saya bersiap-siap kalau ada calo atau porter barang yang datang dan setengah memaksa menawarkan jasa mereka, tetapi sampai keluar pelabuhan tidak ada satu pun yang mengganggu kami dan penumpang lainnya. Terasa lebih tertib dan teratur, pelabuhan lebih nyaman dan aman, dan ternyata sekarang hanya penumpang kapal dan kendaraan yang akan menyeberang yang diperbolehkan masuk ke pelabuhan (sebuah langkah kecil menuju perbaikan yang pantas untuk dipuji)
Rekan kami Elon yang menjemput hanya bisa datang di depan pelabuhan dan kami pun dengan santai meneruskan perjalanan. Elon adalah rekan SMP saya dulu di Lombok. 20 tahun yang lalu kami sama-sama satu kelas di SMP 2 Mataram, dan dia sekarang bersedia meluangkan waktu mengantar saya keliling pulau Lombok. Sungguh saya merasa beruntung punya kesempatan seperti ini (serasa jadi pejabat diantar kemana-mana)
Perjalanan dari Lembar ke Mataram butuh waktu 1jam dan kami isi dengan obrolan nostalgia masa lalu. Sebentar-sebentar saya melongok ke luar jendela memperhatikan keadaan sekitar dan saya di buat heran karena Mataram sudah banyak berubah, kalau dulu Lombok terkenal dengan Bumigora nya karena banyaknya sawah tadah hujan yang ditanami padi Gogo Rancah yang terkenal tahan terhadap kekeringan, sekarang khususnya dikota Mataram berubah dan lebih dikenal sebagai Bumiruko saking banyaknya bangunan ruko-ruko baru yang bertebaran dipelosok kota. Disatu sisi saya terkesan dengan kemajuan Mataram tapi disisi lain prihatin karena pembangunan itu terkesan tanpa perencanaan. Dahulu ditepi jalan banyak sawah-sawah membentang dan pepohonan yang rindang dan membuat sejuk jalan, saat ini digantikan ruko-ruko tinggi dan lenyapnya pohon karena pelebaran jalan. Panas dan tandus kesannya, dan bangunan itu berdiri angkuh serta tidak ramah seperti kebanyakan kota-kota besar di jawa. (seandainya pembangunan dipadukan dengan pelestarian alam tentu bagai mimpi yang indah disiang hari)
Berlanjut ke Pantai Senggigi, pantai yang sebelum terkenal pun sudah sering saya kunjungi bersama teman-teman SMP dulu. kami bernostalgia dan mencari tempat dulu kami sempat camping bersama yaitu Pantai Krandangan. Letaknya disebelah Pantai Senggigi dan ternyata sudut dunia itu belum berubah sama sekali (atau belum ada yang tahu indahnya tempat itu ya, semoga).
Bukit Malimbu adalah persinggahan kami selanjutnya. Sebuah bukit kecil yang terkenal sebagai spot yang baik untuk melihat sunset dengan latar belakang tiga pulau yang terkenal yaitu Gili Trawangan, Air, dan Meno. Setelah itu perjalanan dilanjutkan kembali ke Mataram, saya memutuskan menginap di Mataram karena sudah terlalu sore untuk menyeberang ke Gili Trawangan dan menurut info dari Elon rekan SMP kami yang bernama Jaya membuka Hotel di Mataram.
Bukit Malimbu adalah persinggahan kami selanjutnya. Sebuah bukit kecil yang terkenal sebagai spot yang baik untuk melihat sunset dengan latar belakang tiga pulau yang terkenal yaitu Gili Trawangan, Air, dan Meno. Setelah itu perjalanan dilanjutkan kembali ke Mataram, saya memutuskan menginap di Mataram karena sudah terlalu sore untuk menyeberang ke Gili Trawangan dan menurut info dari Elon rekan SMP kami yang bernama Jaya membuka Hotel di Mataram.
Hotel itu adalah sebuah hotel kecil bernama Hotel Ayu Jaya dengan 15 kamar saja, tertulis didepannya harga promo 90rb/malam dengan fasilitas kamar mandi dalam, double springbed, tv, lemari dan kipas angin. Kebayang kalau malam akan panas tapi rekan Jaya bilang tetap dingin, dan terbukti benar.
Paginya kami meneruskan perjalanan ke Pelabuhan Bangsal, sengaja rekan Elon mengambil rute yang dekat dengan melewati Hutan Pusuk yang masih alami, dan kami beruntung bersua kawanan kera di sana. Langsung saja rekan Anung beraksi dengan cameranya. Seperti kera-kera di Hutan Sangeh Bali, kera disini pun terlihat sudah biasa dengan pengunjung bahkan di sepanjang perjalanan terlihat mereka duduk-duduk ditepi jalan menunggu untuk di beri makanan. Entah apakah Hutan Pusuk sudah pelit dalam menyediakan mereka makanan atau karena mereka sudah terbiasa menunggu diberi makanan oleh pengunjung, keadaan yang ambivalen. (semoga tidak sampai mencuri makanan seperti manusia)
Lanjut ke Pelabuhan Bangsal. Pelabuhan ini adalah pelabuhan rakyat yang dulunya sebagai tempat menyeberang penduduk ke pulau-pulau (gili) yang ada diseberang dan tempat mendarat kapal nelayan. Pelabuhan ini sudah bersolek maju menggoda pengunjung untuk menyeberang, masuk kedalam pelabuhan dengan membayar retribusi 5rb untuk mobil. Sempat melihat adegan petugas penjaga marah-marah dan memaki rombongan turis yang bermobil yang ingin memasuki pelabuhan, sampai-sampai turis itu di usirnya. Saya sedikit marah dengan kejadian itu, kalaupun tidak ingat bulan puasa ingin rasanya saya tegur petugas jaga tersebut. Bagaimana pun juga mereka adalah tamu kita dan harus dilayani dengan ramah sehingga meninggalkan kesan yang baik. Bagaimana mau maju wisata kita kalau mental petugasnya masih arogan dan korup seperti itu.
Di Pelabuhan Bangsal kita dapat memilih untuk menyeberang dengan kapal cepat/speed boat dengan biaya 100rb atau dengan menggunakan kapal biasa bersama penduduk dengan membayar tiket 13rb+2rb asuransi. Dan berlayarlah kami dengan perahu motor kayu menyeberang ke Gili Trawangan selama 1jam. Perahu itu berukuran besar serta sanggup mengangkut sampai maksimal 35 orang penumpang dan berisi segala macam barang mulai dari makanan, baju, perlengkapan dapur, sampai minuman keras. Penduduk gili memang harus belanja ke daratan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan untuk menyediakan makanan dan minuman bagi para tamunya. Beruntung tidak ada ternak didalamnya saat itu. dan walaupun kapal kami besar tetap saja terjangan gelombang memaksa kami berpegangan dan saling berpandangan cemas, bahkan rekan Anung sampai pucat wajahnya, yang mengherankan penumpang lain yang merupakan penduduk disitu santai saja bahkan bisa tertidur.
Sampai di gili kami pun tertawa terbahak-bahak dengan pengalaman itu. (sungguh saya lebih menghargai hidup setelah itu karena ternyata menurut info kami beruntung bisa selamat sampai tujuan dalam kondisi ombak besar, bahkan setelah itu penyeberangan ditutup sementara sampai ombak tenang kembali)
Sampai di gili kami pun tertawa terbahak-bahak dengan pengalaman itu. (sungguh saya lebih menghargai hidup setelah itu karena ternyata menurut info kami beruntung bisa selamat sampai tujuan dalam kondisi ombak besar, bahkan setelah itu penyeberangan ditutup sementara sampai ombak tenang kembali)
Gili Trawangan adalah salah satu gili dari tiga gili besar yang terdapat di utara Pulau Lombok. Bersama Gili Air dan Gili Meno ketiga gili ini sudah terkenal sampai ke mancanegara akan keindahan alamnya, putih pasirnya, dan air laut yang bening yang sangat asyik untuk di jelajahi. Dan sekali lagi ternyata kami bertemu dengan turis-turis asing di pulau ini. Ada banyak sekali turis asing, bahkan mungkin jumlahnya lebih banyak dari jumlah penduduk asli gili trawangan ditambah turis lokal. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya turis asing saja. Mendengar mereka berbicara dengan beraneka ragam bahasa nya membuat saya justru yang merasa menjadi turis di negeri orang. Dipinggir pantai banyak orang sedang berjemur, jalan di Gili ramai dengan Cidomo (sejenis dokar/andong) dan sepeda serta orang berjalan kaki. tidak ada satupun suara mesin kendaraan terdengar di pulau ini karena memang kendaraan dilarang dipulau ini. Cafe-cafe dan homestay serta bungalow berjejer ditepi jalan sangat penuh dengan pengunjung. Suasana sangat meriah apalagi malamnya ada pasar malam di tepi pantai, sungguh surga bagi pencari kesenangan.
Kami pun beranjak kedalam pulau untuk menanyakan homestay, dan di Edi Homestay kami mendapatkan jawaban kalau harga bervariasi, saat sepi tarif homestay di gili sekitar 50-100rb/malam, musim liburan turis lokal sekitar 200-300rb/malam dan puncaknya pada bulan juli-agustus dan tahun baru di mana musim liburan turis asing tarif kamarnya 400-500rb/malam. (rasanya sungguh pintar penduduk gili dalam berusaha).
Setelah itu kami berjalan-jalan di area pertokoan di pinggir pantai, disalah satu sudut ada semacam biro yang menawarkan jasa snorkling, kami pun bertanya tentang hal tersebut. Kita dapat bersnorkling dengan biaya 100rb atau 120rb dengan makan siang untuk mengunjungi tiga pulau dan snorkling di beberapa spot yang indah seperti white coral, teluk penyu dan lainnya. Jika mau lebih menantang kita bisa diving dengan biaya 200-300rb dengan instruktur bersertifikat PADI adventure yang diakui internasional, dan bahkan ada wahana baru berupa Walking at Bottom Sea yaitu berjalan-jalan di dasar laut dengan pakaian khusus mulai dari 450rb sekali tripnya.
Sore menjelang, kami pun kembali ke daratan karena sudah ada janjian untuk buka puasa bersama-sama disalahsatu rumah rekan SMP dulu.
Hari terakhir kami di Lombok, rencana ke Pantai Kuta dan Tanjung Aan. Perjalanan menjadi lebih seru karena kami ketambahan rekan Winarta yang dulu teman di SMP juga sehingga perjalanan menjadi lebih seru dan meriah. Pantai Kuta adalah pantai yang dahulu sulit untuk didatangi karena akses jalannya yang susah dan rusak. Perjalanan 2 jam dari Mataram melalui bandara udara baru namanya Bandara Internasional Lombok di Praya Lombok Tengah sebagai pengganti Bandara Selaparang. Ada cerita menarik dari rekan Elon, dulu saat bandara di buka pertama kali, masyarakat disekitar bandara berbondong-bondong datang ke bandara untuk menyaksikan pesawat yang terbang dan mendarat. Bahkan tanpa memperdulikan keselamatan ada di antara mereka ada yang membawa tikar dan makanan laksana piknik menonton pesawat datang dan pergi bersama keluarganya, Sementara lainnya ada yang berdagang asonga di dalam bandara.
Sungguh sambutan yang luar biasa oleh masyarakat setempat terhadap kehadiran bandara baru tersebut. Sampai saat ini pun pemerintah melalui satpol PP berusaha menertibkan bandara agar kondinsif. (pembangunan yang tidak berdimesi kerakyatan akan menimbulkan konflik psokologi sosial, dan hasilnya ya seperti itu hehe).
Sampai di Pantai Kuta ternyata jalan telah teraspal mulus dan kami di sambut oleh indahnya pemandangan pantai. Pantai ini dikenal karena pasirnya yang seperti merica, besar dan putih dengan ombak pantai yang tenang serta kadar garam yang rendah sehingga sangat cocok untuk wisata sekeluarga. Suasana lebih sunyi dan lebih nyaman walaupun masih tampak satu-dua turis berjemur dan berjalan kaki ditepi pantai. Untuk penginapan sangat banyak terdapat di Kuta.
Agak siang perjalanan kami lanjutkan ke Pantai Tanjung Aan yang bersebelahan dengan Pantai Kuta, sekali lagi kami disuguhi pemandangan pantai yang sangat indah. Hanya berbeda disini ombak lebih besar dan banyak turis lalu lalang dengan menggunakan motor membawa papan selancar untuk ber surfing ria. Di pojok pantai ada sebuah bukit dengan permukaan datar yang rekan Elon bilang itu sering dijadikan tempat shooting film atau videoclip.
Yang menarik di Kuta dan Pantai Tanjung Aan banyak pedagang yang menawarkan kaos, sarung dan kain khas Lombok. Mereka ternyata dari Desa Adat sade yang dekat dengan pantai itu. Kain tersebut mereka buat sendiri dengan menenun. Harganya relatif murah mulai dari 20rb sampai dengan yang termahal yang ada benang emasnya 50rb. (esok saya ingin kembali sekedar untuk membeli karena dengan membelinya kita membantu perekonomian masyarakat desa adat tersebut)
Hari menjelang sore ketika kami kembali untuk menuju ke Pelabuhan Lembar, kami harus bergegas pulang sebelum arus mudik lebaran tiba. Sampai Pelabuhan maghrib dan kami memberikan kesempatan kepada rekan Elon untuk berbuka puasa sebelum akhirnya berpisah.
Tepat pk 19.00WITA kapal kami lepas dermaga, kami beruntung mendapat kapal ferry eks Jepang yang besar dan nyaman dengan bangku masih terbungkus plastik dan 4 layar LCD besar. Terbayang perjalanan yang mengasyikan karena tidak terasa guncangan ombak dan benar hanya butuh waktu sebentar untuk kami tertidur lelap dalam kelelahan.
Dimanapun yang umum terjadi perjalanan balik adalah pengalaman yang paling tidak menarik untuk dikisahkan karena seperti pengulangan dari perjalanan berangkat, saya pun menyangkanya demikian sampai suatu waktu sekitar dua jam setelah meninggalkan pelabuhan dan kapal berada di laut lepas tragedi itu terjadi.
Kami yang terlelap sontak dikejutkan dengan rauangan sirine kapal yang menyala yang kemudian diikuti oleh pengumuman kapten kapal agar kami waspada dan bersabar karena kapal akan berputar untuk menolong kapal ferry lain yang terbakar. Tanpa di aba-aba kami pun berlari berhamburan keluar ruangan untuk mencari tahu. Dan ditengah gelapnya lautan terlihat kapal di depan kami tenggelam dalam kobaran api yang sangat besar. Lalu terlihat di lautan perahu karet dan jaket pelampung mengambang di perairan. Para korban kapal berteriak-teriak minta tolong, sungguh pemandangan yang mengerikan.
Tanpa dikomando penumpang kapal kami membantu awak kapal untuk melakukan evakuasi dan setelah 4jam evakuasi kapal kami berhasil menyelamatkan 15 orang korban kapal yang belakangan diketahui bernama Kapal Ferry Gelis Rauh (padahal kapten kapal kami mengumumkan bahwa kapal yang terbakar bernama Nusa Sakti). Total 7 jam kami di Selat Lombok sebelum akhirnya berlabuh di Pelabuhan Padangbai. Saat berlabuh kapal kami di sambut dengan meriah oleh ambulan, mobil patroli polisi, TNI, petugas pelabuhan dan orang-orang yang berkumpul entah dari mana. Sambutan yang sebenarnya tidak kami inginkan dalam musibah itu, tampak repoter tv, majalah, dan surat kabar dengan microphone ditangan diikuti kru cameramen serta jepretan flash foto menyilaukan dan menghambat kami untuk keluar kapal. Ironis memang harus ada musibah untuk mendapat perhatian publik dan pemerintah akan kondisi kapal penyeberangan kita padahal belum ada sebulan lalu kapal ferry juga dilaporkan karam di Selat Bali.
Perjalanan kami di lanjutkan kembali dengan kepala di penuhi tanda tanya akan seperti apa berita musibah itu, yang ternyata justru membuat kami lebih miris lagi karena hanya berupa sekilas info atau newsbreak di sebuah stasiun televisi dan berita kecil dipojokan surat kabar. Semua itu kalah dengan hingar bingar pemilu dan terlebih lagi liputan kasus tertembaknya pesawat Malaysia Airlines.
Pagi kami sampai di Pelabuhan Gilimanuk, jadwal Kereta Api Sri Tanjung sudah lama lewat, saya hanya berharap kepada Kereta Api Pandanwangi tujuan Surabaya yang berangkat pk.08.27WIB. Dari Surabaya rencana kami akan mengunakan bus pulang ke Yogyakarta.
Tapi sekali lagi manusia berencana Tuhan yang menentukan, setelah hampir 1 jam ber layar, kapal kami akan bersandar ternyata dermaga rusak dan harus di perbaiki dahulu sehingga kapal kami belum bisa bersandar dan bongkar muat. Hampir 3 jam kami menunggu, sebagian penumpang berinisiatif bertanya kepada kapten kapal kenapa tidak menggunakan dermaga lain untuk bersandar. Ternyata baru kami ketahui bahwa masing-masing kapal mempunyai dermaga sendiri-sendiri sesuai dengan spesifikasi dan berat kapal. Dan perlu ijin dari syahbandar untuk menggunakan dermaga lain. Setelah menunggu lama, kapal kami diperkenankan merapat kedermaga lain. Hilang sudah rencana kami untuk menggunakan kereta api Pandanwangi karena jadwal keretanya pun terlewatkan.
Turun dari kapal pk.11.00WIB kami langsung menuju Stasiun Banyuwangibaru untuk melihat jadwal kereta, dan sepakat menggunakan Kereta Api Probowangi tujuan Surabaya yang berangkat pk.14.45WIB. Sekali lagi halangan kami dapatkan, rekan Anung tidak diperbolehkan menggunakan surat kehilangan untuk membeli tiket kereta api. Kami sempat berdebat sebentar karena saat di Stasiun Lempuyangan Yogyakarta hanya dengan surat kehilangan dan copy KK kami bisa membeli tiket. Tetapi setelah sekian lama kami mengalah dan memutuskan untuk menggunakan bus ke Surabaya.
Terminal Bus Ketapang atau lebih dikenal dengan Terminal Sritanjung adalah terminal kecil dan hanya ada dua bus disana dengan tujuan Surabaya dan kami memutuskan menggunakan bus Damri patas AC dengan membayar karcis 80rb agar cepat sampai ke Surabaya. Sungguh ternyata halangan kami pun untuk sampai kampung halaman sangat banyak, bus berangkat tepat waktu tetapi setelah 1jam perjalanan saat sampai di daerah Baluran, bus mengalami kerusakan mesin sehingga akhirnya memutuskan kembali ke Ketapang. Dan kembali kami harus menempuh waktu 1jam perjalanan ke Ketapang.
Atas kebaikan sopir Bus Damri tersebut kami diantar ke Terminal Karang Ente di Kota Banyuwangi dan disarankan untuk menggunakan bus jalur selatan yang ada tujuannya sampai Yogyakarta.
Diterminal Karang Ente kami mendapat bus Akas Asri yang tujuan langsung Banyuwangi-Yogyakarta. Tarif bus AC ekonomi ini 105rb sampai Yogyakarta. Bus tersebut dalam kondisi bagus dan nyaman untuk berjalan sehingga kami pun tenang dan berencana beristirahat diperjalanan. Tapi alangkah terkejutnya kami, sampai di Kota Jember bus harus menepi untuk memperbaiki pompa solarnya yang rusak dan walaupun kembali dapat berjalan bus kembali harus menepi untuk perbaikan di pasuruan, alhasil sopir bus uring-uringan karena jadwal bus terlambat dan kami pun tanpa ada kesempatan untuk berhenti beristirahat langsung menuju Yogyakarta.
Dari Banyuwangi kami berangkat pk.14.00 WIB dan sampai Yogyakarta pk.09.00WIB sebuah perjalanan panjang yang melelahkan.
Ini hanyalah sepenggal perjalanan dalam hidup ini, tetapi pengalaman yang didapat baik suka maupun duka sungguh membuat saya bersyukur akan nikmat Nya. Dan jika kembali ada kesempatan mengunjungi Lombok maka saya akan langsung mengatakan ya karena indahnya ber backpacker.
Sore menjelang, kami pun kembali ke daratan karena sudah ada janjian untuk buka puasa bersama-sama disalahsatu rumah rekan SMP dulu.
Hari terakhir kami di Lombok, rencana ke Pantai Kuta dan Tanjung Aan. Perjalanan menjadi lebih seru karena kami ketambahan rekan Winarta yang dulu teman di SMP juga sehingga perjalanan menjadi lebih seru dan meriah. Pantai Kuta adalah pantai yang dahulu sulit untuk didatangi karena akses jalannya yang susah dan rusak. Perjalanan 2 jam dari Mataram melalui bandara udara baru namanya Bandara Internasional Lombok di Praya Lombok Tengah sebagai pengganti Bandara Selaparang. Ada cerita menarik dari rekan Elon, dulu saat bandara di buka pertama kali, masyarakat disekitar bandara berbondong-bondong datang ke bandara untuk menyaksikan pesawat yang terbang dan mendarat. Bahkan tanpa memperdulikan keselamatan ada di antara mereka ada yang membawa tikar dan makanan laksana piknik menonton pesawat datang dan pergi bersama keluarganya, Sementara lainnya ada yang berdagang asonga di dalam bandara.
Sungguh sambutan yang luar biasa oleh masyarakat setempat terhadap kehadiran bandara baru tersebut. Sampai saat ini pun pemerintah melalui satpol PP berusaha menertibkan bandara agar kondinsif. (pembangunan yang tidak berdimesi kerakyatan akan menimbulkan konflik psokologi sosial, dan hasilnya ya seperti itu hehe).
Sampai di Pantai Kuta ternyata jalan telah teraspal mulus dan kami di sambut oleh indahnya pemandangan pantai. Pantai ini dikenal karena pasirnya yang seperti merica, besar dan putih dengan ombak pantai yang tenang serta kadar garam yang rendah sehingga sangat cocok untuk wisata sekeluarga. Suasana lebih sunyi dan lebih nyaman walaupun masih tampak satu-dua turis berjemur dan berjalan kaki ditepi pantai. Untuk penginapan sangat banyak terdapat di Kuta.
Agak siang perjalanan kami lanjutkan ke Pantai Tanjung Aan yang bersebelahan dengan Pantai Kuta, sekali lagi kami disuguhi pemandangan pantai yang sangat indah. Hanya berbeda disini ombak lebih besar dan banyak turis lalu lalang dengan menggunakan motor membawa papan selancar untuk ber surfing ria. Di pojok pantai ada sebuah bukit dengan permukaan datar yang rekan Elon bilang itu sering dijadikan tempat shooting film atau videoclip.
Yang menarik di Kuta dan Pantai Tanjung Aan banyak pedagang yang menawarkan kaos, sarung dan kain khas Lombok. Mereka ternyata dari Desa Adat sade yang dekat dengan pantai itu. Kain tersebut mereka buat sendiri dengan menenun. Harganya relatif murah mulai dari 20rb sampai dengan yang termahal yang ada benang emasnya 50rb. (esok saya ingin kembali sekedar untuk membeli karena dengan membelinya kita membantu perekonomian masyarakat desa adat tersebut)
Hari menjelang sore ketika kami kembali untuk menuju ke Pelabuhan Lembar, kami harus bergegas pulang sebelum arus mudik lebaran tiba. Sampai Pelabuhan maghrib dan kami memberikan kesempatan kepada rekan Elon untuk berbuka puasa sebelum akhirnya berpisah.
Tepat pk 19.00WITA kapal kami lepas dermaga, kami beruntung mendapat kapal ferry eks Jepang yang besar dan nyaman dengan bangku masih terbungkus plastik dan 4 layar LCD besar. Terbayang perjalanan yang mengasyikan karena tidak terasa guncangan ombak dan benar hanya butuh waktu sebentar untuk kami tertidur lelap dalam kelelahan.
Dimanapun yang umum terjadi perjalanan balik adalah pengalaman yang paling tidak menarik untuk dikisahkan karena seperti pengulangan dari perjalanan berangkat, saya pun menyangkanya demikian sampai suatu waktu sekitar dua jam setelah meninggalkan pelabuhan dan kapal berada di laut lepas tragedi itu terjadi.
Kami yang terlelap sontak dikejutkan dengan rauangan sirine kapal yang menyala yang kemudian diikuti oleh pengumuman kapten kapal agar kami waspada dan bersabar karena kapal akan berputar untuk menolong kapal ferry lain yang terbakar. Tanpa di aba-aba kami pun berlari berhamburan keluar ruangan untuk mencari tahu. Dan ditengah gelapnya lautan terlihat kapal di depan kami tenggelam dalam kobaran api yang sangat besar. Lalu terlihat di lautan perahu karet dan jaket pelampung mengambang di perairan. Para korban kapal berteriak-teriak minta tolong, sungguh pemandangan yang mengerikan.
Tanpa dikomando penumpang kapal kami membantu awak kapal untuk melakukan evakuasi dan setelah 4jam evakuasi kapal kami berhasil menyelamatkan 15 orang korban kapal yang belakangan diketahui bernama Kapal Ferry Gelis Rauh (padahal kapten kapal kami mengumumkan bahwa kapal yang terbakar bernama Nusa Sakti). Total 7 jam kami di Selat Lombok sebelum akhirnya berlabuh di Pelabuhan Padangbai. Saat berlabuh kapal kami di sambut dengan meriah oleh ambulan, mobil patroli polisi, TNI, petugas pelabuhan dan orang-orang yang berkumpul entah dari mana. Sambutan yang sebenarnya tidak kami inginkan dalam musibah itu, tampak repoter tv, majalah, dan surat kabar dengan microphone ditangan diikuti kru cameramen serta jepretan flash foto menyilaukan dan menghambat kami untuk keluar kapal. Ironis memang harus ada musibah untuk mendapat perhatian publik dan pemerintah akan kondisi kapal penyeberangan kita padahal belum ada sebulan lalu kapal ferry juga dilaporkan karam di Selat Bali.
Perjalanan kami di lanjutkan kembali dengan kepala di penuhi tanda tanya akan seperti apa berita musibah itu, yang ternyata justru membuat kami lebih miris lagi karena hanya berupa sekilas info atau newsbreak di sebuah stasiun televisi dan berita kecil dipojokan surat kabar. Semua itu kalah dengan hingar bingar pemilu dan terlebih lagi liputan kasus tertembaknya pesawat Malaysia Airlines.
Pagi kami sampai di Pelabuhan Gilimanuk, jadwal Kereta Api Sri Tanjung sudah lama lewat, saya hanya berharap kepada Kereta Api Pandanwangi tujuan Surabaya yang berangkat pk.08.27WIB. Dari Surabaya rencana kami akan mengunakan bus pulang ke Yogyakarta.
Tapi sekali lagi manusia berencana Tuhan yang menentukan, setelah hampir 1 jam ber layar, kapal kami akan bersandar ternyata dermaga rusak dan harus di perbaiki dahulu sehingga kapal kami belum bisa bersandar dan bongkar muat. Hampir 3 jam kami menunggu, sebagian penumpang berinisiatif bertanya kepada kapten kapal kenapa tidak menggunakan dermaga lain untuk bersandar. Ternyata baru kami ketahui bahwa masing-masing kapal mempunyai dermaga sendiri-sendiri sesuai dengan spesifikasi dan berat kapal. Dan perlu ijin dari syahbandar untuk menggunakan dermaga lain. Setelah menunggu lama, kapal kami diperkenankan merapat kedermaga lain. Hilang sudah rencana kami untuk menggunakan kereta api Pandanwangi karena jadwal keretanya pun terlewatkan.
Turun dari kapal pk.11.00WIB kami langsung menuju Stasiun Banyuwangibaru untuk melihat jadwal kereta, dan sepakat menggunakan Kereta Api Probowangi tujuan Surabaya yang berangkat pk.14.45WIB. Sekali lagi halangan kami dapatkan, rekan Anung tidak diperbolehkan menggunakan surat kehilangan untuk membeli tiket kereta api. Kami sempat berdebat sebentar karena saat di Stasiun Lempuyangan Yogyakarta hanya dengan surat kehilangan dan copy KK kami bisa membeli tiket. Tetapi setelah sekian lama kami mengalah dan memutuskan untuk menggunakan bus ke Surabaya.
Terminal Bus Ketapang atau lebih dikenal dengan Terminal Sritanjung adalah terminal kecil dan hanya ada dua bus disana dengan tujuan Surabaya dan kami memutuskan menggunakan bus Damri patas AC dengan membayar karcis 80rb agar cepat sampai ke Surabaya. Sungguh ternyata halangan kami pun untuk sampai kampung halaman sangat banyak, bus berangkat tepat waktu tetapi setelah 1jam perjalanan saat sampai di daerah Baluran, bus mengalami kerusakan mesin sehingga akhirnya memutuskan kembali ke Ketapang. Dan kembali kami harus menempuh waktu 1jam perjalanan ke Ketapang.
Atas kebaikan sopir Bus Damri tersebut kami diantar ke Terminal Karang Ente di Kota Banyuwangi dan disarankan untuk menggunakan bus jalur selatan yang ada tujuannya sampai Yogyakarta.
Diterminal Karang Ente kami mendapat bus Akas Asri yang tujuan langsung Banyuwangi-Yogyakarta. Tarif bus AC ekonomi ini 105rb sampai Yogyakarta. Bus tersebut dalam kondisi bagus dan nyaman untuk berjalan sehingga kami pun tenang dan berencana beristirahat diperjalanan. Tapi alangkah terkejutnya kami, sampai di Kota Jember bus harus menepi untuk memperbaiki pompa solarnya yang rusak dan walaupun kembali dapat berjalan bus kembali harus menepi untuk perbaikan di pasuruan, alhasil sopir bus uring-uringan karena jadwal bus terlambat dan kami pun tanpa ada kesempatan untuk berhenti beristirahat langsung menuju Yogyakarta.
Dari Banyuwangi kami berangkat pk.14.00 WIB dan sampai Yogyakarta pk.09.00WIB sebuah perjalanan panjang yang melelahkan.
Ini hanyalah sepenggal perjalanan dalam hidup ini, tetapi pengalaman yang didapat baik suka maupun duka sungguh membuat saya bersyukur akan nikmat Nya. Dan jika kembali ada kesempatan mengunjungi Lombok maka saya akan langsung mengatakan ya karena indahnya ber backpacker.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar